Heavy Sweetness Ash Like-Frost, drama yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dian Xian ini benar-benar mencuri perhatianku. Belum cukup dengan dramanya aku pun lanjut untuk menjelajahi novelnya, dan untungnya ada menemukan blog yang menterjemahkan novel berbahasa mandarin itu kedalam bahasa inggris. Aku belum membaca novelnya secara keseluruhan dan membaca dengan skipping karena penasaran dengan klimaks cerita (chapter dimana Jin Mi membunuh Xu Feng).
Ada beberapa perbedaan-perbedaan antara drama dengan novel aslinya tetapi secara garis besar plotnya sama kok, dan bagian yang paling menarik perhatianku adalah bagain di Chapter 20, entah kenapa aku merasa untuk part ini (Jin Mi bangun dari koma ) feel nya benar-benar terasa sekali, rasa campur aduk yang dirasakan Jin Mi benar-benar diceritakan dengan sangat apik oleh sang penulis. It feel So Hurt…
Sepotong terjemahan ini aku terjemahkan dari onesecondspring, jika kalian ingin membaca lengkap novelnya dalam bahasa inggris kalian bisa berkunjung kesana
And…this is that part, Happy Reading.
Part Awal CHAPTER 20 : Madu yang Terluka
Aku membalik badanku, membuka mataku dan melihat dua wanita pelayan disamping tempat tidurku. Aku mencoba untuk menopang tubuhku dengan kedua lenganku, tapi siapa yang tahu bahwa kedua lenganku masih sangat lemah dan aku kembali terjatuh ketempat tidur.
Gerakanku mengagetkan dua pelayan wanita tersebut.
“Siapa yang menyanyikan opera diluar?” Aku bertanya
Salah satu dari pelayan wanita itu membua matanya lebar-lebar berbalik dan berlari keluar, sepanjang jalan dia berteriak,”Cepat! Cepat! katakan pada Kaisar! Dewi Air telah bangun!”
Pelayan yang satunya lagi menjadi lebih serius, dia menatapku dan berkata,”Dewi air, anda telah tertidur selama setengah tahun dan akhirnya terbangun, Kaisar telah mengkhawatirkan anda sepanjang siang dan malam.”
Aku mengerutkan alisku dan bertanya lagi,”Siapa yang menyanyikan opera diluar?”
Pelayan Wanita itu menjawab,”Kaisar naik takhta hari ini. Untuk merayakannya, para Dewa membuat sebuah panggung nyanyian opera.”
Aku menutup mataku dan bertanya,”Apa yang mereka nyanyikan?”
Pelayan wanita itu menjawab dengan penuh hormat,”Ini lagu Startled Dream dari opera yang disebut ‘Kun Xi’.”
“Startled Dream…Startled Dream…”Aku mengulanginya sambil bergumam. Aku tiba-tiba mengangkat kepalaku dan menatapnya, Kaisar? Kaisar yang mana?”
Pelayan wanita itu menutupi mulutnya dan tersenyum,”Dewi pasti bercanda, memangnya ada berapa kaisar diluar sana? Kaisar hanya ada satu-Dewa Malam."
“Dewa malam…?” Pikiranku menjadi bingung, “Dewa malam…dewa malam mana yang kau bicarakan?.”Aku menarik lengan bajunya, “Bagaimana dengan Dewa Api? Kau bilang aku sudah tidur selama setengah tahun, kenapa Dewa Api tak datang dan menemuiku?.”
“Dewa Api…?.” Dia terlihat bingung dan tidak menjawab. Setelah aku menarik lengannya dan mengulangi pertanyaanku tiga sampai empat kali, dia hati-hati menjawab,”Dewa api...tidakkah dewa api telah musnah menjadi abu setengah tahun lalu?”
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu seperti meledak dikepalaku
Wajahnya, Senyumnya,Tangannya…
Belati es…
Punggungnya…
Inti kekuatanya…
Darah…
Ya! Dia mati! Aku sendiri yang telah menancapkan pisau belati kedalam dadanya! Aku sendiri yang membunuhnya! Aku melihatnya sendiri saat jiwanya terbakar!
Aku menggenggan tanganku dan merasakan luka tusukan didadaku. Aku berusaha menggeser badanku ke tepi tempat tidur, Ini sangat menyakitkan aku tak bisa meluruskan tubuhku, rasanya seperti jantungku, paru-paru, samuanya serasa digali hidup-hidup dari dalam tubuhku dan kemudian darah terciprat dimana-mana. Aku memelintir lenganku,memelintir dengan paksa, penasaran kenapa yang dipotong bukanlah tanganku?
“Dewi agung! Dewi agung! Kenapa? Tolong jangan melukai dirimu sendiri!.”
Aku merasakan sakit yang amat sangat sehingga rasanya sampai ke urat-urat.
Aku menatap padanya dengan kosong dan penuh rasa takut, “Cepat! Jantungku telah hilang! Aku sudah kehilangan jantungku! Bantu aku menemukannya! Cepat! pasti ada di suatu tempat di rumah ini! Kamu harus menemukannya! ini sangat menyakitkan, sangat menyakitkan aku bisa mati! Aku menggenggam dadaku yang terasa kosong.
Wajah pelayan wanita nampak ketakutan dan dia berkata,”Baik, saya akan membantu anda menemukannya, saya akan membantu anda menemukannya…”Dia mencari ke sekeliling tempat tidur,”Disini tak ada apa-apa…Dewi aku tak bisa menemukan apapun…”
“Jika tak ada di tempat tidur, cari ke bawah! Cari keluar ruangan! Pasti ada di suatu tempat!” Aku mulai menangis. Rasa sakitnya tak berkurang sedikitpun.
“Apa yang kau cari?” Seseorang memasuki kamar, sosok pria tinggi dengan jubah emasnya.
Phoenix?
Aku mengerjapkan mataku yang sudah penuh dengan air mata. Setiap orang terdiam.
Mencari jantung…Kaisar…Dewi agung ingin aku membantunya untuk menemukan jantung…Dia berkata jantungnya telah hilang…”Pelayan wanita itu menggumam seakan-akan jiwanya sudah hilang.
“Jin Er, ada masalah apa?”
Gambaran seindah surga tiba-tiba sirna dalam sekejap. Phoenix tak pernah sekalipun memanggilku Jin Er…dadaku serasa ditikam lagi dengan pisau, darah dan daging bercampur menjadi satu…tanganku gemetaran, tenggorokanku serasa retak.
“Sangat pahit, sangat menyakitkan! Apakah aku sedang sekarat?.”Aku menatapnya dengan putus asa.
Dewa Malam menggenggam tanganku dan menempatkannya di lengannya. Dia merangkulku dan perlahan berkata,”Tidak, tak akan, Aku disini, Kenapa Jin Er harus mati?Apalagi kita akan bersama selama ratusan ribuan tahun, bahkan itu belum cukup. Kaau hanya tertidur terlalu lama dan tubuhmu belum terbiasa.”
Aku meronta, “Jangan sentuh aku! Aku merasa sakit!”
“Bagian mana yang sakit?” Ia menatapku dengan lembut,”Aku akan memberikanmu energi untuk mengurangi rasa sakit.”
Aku menekan dadaku dan hanya merasakan luka menyebar dari dada ke seluruh anggota badanku, seperti ditusuk-tusukk jarum. Aku tak bisa mengatakan dimana sakitnya, rasanya seperti sakit di sekujur tubuhku. Aku menekuk tubuhku, air mata tak mau berhenti menetes, “Aku tak tahu, aku tak tahu dimana yang sakit…ini sangat pahit, mulutku benar-benar terasa pahit, selamatkan aku…”
Ia tersenyum, “Jika kamu memakan manisan, kamu tak akan merasakan pahit lagi.” Dia memunculkan manisan es dari tangannya dan menyuapkannya kedalam mulutku.
Manisan itu lumer di lidahku, tetapi aku malah merasakan tenggorokanku menjadi semakin pahit, Sangat pahit sampai-sampai aku memuntahkannya keluar. Aku melihat mulutku sudah dipenuhi dengan darah merah.
Ia menatap manisan yang sudah tertutupi darah. Ia lalu menggunakan jari-jarinya untuk mentransfer energi melalui punggungku, “Jangan khawatir, Jin Er, segalanya akan baik-baik saja”
Aku terus terisak hingga tenggorokanku terasa kering dan tak mampu bersuara. Butiran air mata terus menetes melewati pipiku, seakan tak bisa berhenti. Aku tak tahu mengapa aku seperti ini..seperti seseorang melemparkan sihir padaku, Aku menggenggam tangan malam,”Aku pasti sudah terkena mantra guna-guna dari dunia manusia. Dapatkah kamu menolongku?”
“Ya, aku akan membantumu, Jin Er, jangan takut, aku disini” Malam mencampur tablet penyembuh dengan air madu untukku dan perlahan membiarkan perasaan takutku mereda. Aku perlahan merasa semakin lelah dan perlahan jatuh tertidur, tetapi bahkan didalam mimpi aku masih merasakan bayangan rasa sakit.
…
…
Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur, berapa hari, berapa malam...
Ketika akhirnya aku terbangun, sudah musim semi. Cahaya musim semi menerobos melalui jendela dan aku dapat mendengar burung bernyanyi di halaman. Seseorang membelakangiku sambil memainkan qin, Aku mendengar suara angin dan air sungai mengalir.
Sambil bertelanjang kaki, aku berjalan keluar dan melewati sosok yang memainkan qin.
“Jin Er, kau akhirnya terbangun, Tolong jangan tidur seperti itu lagi, aku takut sebelum aku memiliki kesempatan untuk menikahimu, untuk mencintaimu, kamu akan terus tertidur hingga dunia ini semakin menua.”
Aku tak berani untuk membalikan wajahku melihat pada alat musik qin itu…
sesungguhnya, aku tidak berani melihat qin karena pernah ada seseorang dengan sosok tinggi dan penuh kebanggaan memainkan qin untukku. Pada akhirnya, qin itu , patah; orang itu, pergi.
Aku menyentuh pipiku, rasanya sangat kering. Bahkan seakan-akan air mata sudah berubah arah.
Ia merangkul pinggangku dari belakang, ia menempatkan dagunya perlahan ke bahuku, “Jin Er, lihat-bunga-bunga sudah bermekaran. Kapan seharusnya kita menikah? Bagaimana dengan musim semi ini?”
Aku perlahan menjauh dan tak memberikan jawaban apapun.
Ya! Jendela sudah terbuka, bunga-bunga sudah bersemi lagi, tetapi mengapa aku tak bisa melihatmu??
------------------------------------------------------
See also :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar